By: Nahdiatul Husna
Aku Sahabatmu
Lengking nyaring memekak telinga
dari bel di ruang piket cukup sebagai komando bagi siswa untuk segera masuk ke
kelas masing-masing. Aku bergegas menuju ke kelas setelah tadi sempat ngobrol
sebentar dengan Linda di kantin. Biasanya begitu tiba di sekolah aku langsung
ke kelas menunggu bel menjerit. Tapi setelah aku memarkir sepeda Linda langsung
menarikku ke kantin mengajak melanjutkan diskusi tentang acara liburan semester
gasal mendatang.
“Lho?? Arien kok belum datang?” gumamku
kaget begitu ku lihat kursi di sampingku kosong. Teman sebangkuku yang centil
itu sangat jarang telat ke sekolah. Ia selalu datang lebih awal dariku. Dan
sambil memamerkan senyum manisnya biasanya ia akan meledekku.
“Kamu memang generasi penerus budaya
Indonesia ya? Budaya jam karet!” atau mengatakan “Tuan puteri ini pasti baru
aja bangun tidur, trus langsung ke sekolah. Duuuh… kacian banget aku hari ini
harus sebangku sama kambing…!”
Bila ia meledek aku seperti itu aku
biasanya cuma tersenyum atau mencubit lengannya keras-keras.
“Aku tau kamu pagi-pagi ke sekolah
cuma pengen godain cowok-cowok, kalo nggak, pasti cari perhatian si kapten
basket yang lagi latihan di halaman belakang”, kataku dalam hati.
Rupanya ledekannya itu tak kan
hinggap di telingaku hari ini. Aku berharap ia akan segera datang. Tapi sampai
Pak Edo masuk, Arien masih tak tampak batang hidungnya.
Tak biasanya ia seperti ini. Kalau
sakit, setidaknya ia akan mengirim sms padaku. Atau ada kiriman surat dari
pembantunya. Jika ia bolos akupun akan tahu, karena ia akan bilang padaku
seperti beberapa bulan yang lalu. Berbagai kemungkinan berkelabat di benakku.
Sesuatu telah terjadi padanya. Ya Allah, tidak. Semoga ia tidak apa-apa. Tapi.
. . gara-gara dia konsentrasi belajarku hari ini benar-benar terganggu.
“Duuuhh
Arien…! Kau membuat nilai kimiaku hari ini seperti bebek kegirangan mendapat air”, gerutuku dalam hati. :-<
Pelan-pelan ku
kayuh sepedaku sepulang dari sekolah. Pikiranku, masih terisi tentang Arien.
Arien yang periang, lucu dengan baby face yang bikin gemes. Sifatnya agak
kekanakan, manja dan kurang pikir panjang. Namun ia seorang pendengar yang
baik, peka terhadap penderitaan orang lain dan setia kawan. Aku masih ingat
ketika mencari tempat duduk di kelas baru di hari pertama masuk sekolah, aku
kehabisan kursi. Kebetulan ia sendirian, ia mengajakku menjadi teman
sebangkunya. Tentu saja aku mau.
Kami berdua semakin akrab. Apalagi
ia bilang ingin belajar al-quran dan meminta aku mengajarinya. Ia bilang kalau
ia malu, ia beragama islam tapi tidak bisa membaca al-quran. Aku jadi sering ke
rumahnya. Ia banyak bertanya tentang agama Islam. Sedikit demi sedikit akhirnya
ia mulai berubah. Pakaiannya lebih sopan meskipun belum berjilbab. Katanya ia
juga punya keinginan untuk itu, tapi belum terealisasikan.
Ba’da ashar…
Ku ambil hpku. Aku kaget. Ada sms
dari Arien, setelah tadi sms dan teleponku tidak diresponnya. Di layar hpku
tertera pesan yang dikirim beberapa saat yang lalu.
Hai rifa, kmu gk
usah khawatirin aku. Aku baik2 aj. Besk aku sdh masuk lg kq. c u honey…
Senyumku yang sempat mengembang
sekarang perlahan pudar. Singkat dan dingin, itulah kesan isi smsnya. Meskipun
ada ‘c u honey’ yang menandakan ia seperti biasa, riang, tapi entah kenapa ada
kabut-kabut tipis dari susunan kata-katanya. Ada sesuatu… sesuatu yang aku tak
tau. Namun segera ku tepis ‘sesuatu’ yang aneh itu. Ku anggap saja keisengannya
sedang kambuh dan ia lupa bilang kalau ia mau bolos. Ku balas smsnya.
Hmmm..Ok honey.
Besok aku tunggu kamu dan siapkan jwbn lengkap utk segudang prtanyaan drku.
Salam.
Ku letakan hpku di atas bupet dan ku
ambil buku biologi. Dengan sedikit kelegaan yang ku rasakan ku fokuskan
konsentrasiku untuk memasuki dunia monera dengan organisme mikroskopisnya.
Setelah hari itu
ku lihat Arien sering duduk termenung sendirian. Beberapa hari ini juga ia
sering ku pergoki sedang menangis di sudut taman belakang sekolah. Ia tidak mau
aku dekati. Ia menghindar dariku setiap ku tanya kenapa.
Ketidaktahuanku tentang alasan ia bolos sama
seperti ketidaktahuanku mengapa ia jadi seperti ini. Ia biasanya periang. Namun
kini wajahnya kelam bersaput awan. Aku yakin ia memendam sesuatu yag tidak
ingin ia ceritakan. Aku tidak ingin memaksanya mengeluarkan isi hatinya.
Kupikir ia akan segera kembali seperti biasa. Tapi sampai hari ini ia tetap
kelihatan sedih. Aku tau ia tidak konsentrasi saat belajar. Ia memang duduk di
sampingku, tapi pikirannya melayang entah kemana. Tatapan matanya kosong dan
kadang ada bening air di sudut matanya. Ia menangis. Kalau sudah begini aku
tidak tahu harus bagaimana. Aku tak tau cara menghiburnya.
Sebagai sahabatnya tentu saja aku
tidak bisa membiarkannya begini terus. Ketika jam istirahat, ku susul ia yang
telah lebih dahulu duduk di bangku panjang taman belakang yang menjadi teman
setianya beberapa hari ini.
“Assalamualaikum..”, ucapku pelan
agar ia tak terkejut.
“Ee..wa.. waalaikum salam”, jawabnya
agak gagap. Ia hanya menoleh sebentar, perhatiannya kembali pada kertas-kertas
kecil yang sedari tadi disobek-sobeknya.
“Arien . . .”, panggilku lembut,
“kamu sedang apa di sini?”
Ia tidak menjawab. Aku duduk di
sampingnya.
“Emm. . . ku lihat kamu beberapa
hari ini berubah. Kamu kelihatan sedih. Ada apa Rien? Apa yang sebenarnya
terjadi sama kamu?”, ucapku hati-hati.
“Fa! Aku sudah bilang aku nggak
papa! Aku mohon jangan tanyakan apa-apa lagi sama aku!”, jawabnya agak keras. Suaranya
bergetar.s
“Rien, aku yakin kamu begini
bukannnya tanpa sebab. Pasti ada alasannya. Jika kamu punya masalah jangan ragu, ceritakan
kepadaku”, bujukku lagi.
“Nggak! Aku. . .aku nggak papa!”,
matanya berkaca-kaca. Ia menarik nafas. “Faa. . . , aku nggak sanggup. . . aku nggak
sanggup ceritainnya”. Air itu hampir menetes dari mata sayunya. Ia
meremas-remas tangan, sekuat tenaga menahan agar tak menangis. Tapi akhirnya
tangis itu pecah juga.
“Arien. . sahabatku,” ku sentuh
bahunya, “bila kamu masih menganggap aku sahabat, aku pengen menjadi sahabat
yang baik buat kamu. Sahabat yang selalu siap mendengar keluh kesahmu. .
sahabat yang ikut senang bila kamu senang, ikut sedih bila kamu sedih,”ucapku
sambil terisak. Meski aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku
mencoba merasakan bagaimana suasana hati sahabatku. Masalah seperti apa, duka
sedalam apa hingga membuat senyum manis beranjak dari wajah sahabat yang kusayangi
ini.
Arien semakin sesenggukan.
“Arini. . “ kali ini ku panggil ia
dengan nama kesayangannya,” kamu ingat kan dengan hadits Nabi yang mengatakan
bahwa sesama muslim bagaikan sebatang tubuh. Aku ingin Rien, menjadi bagian
dari batang tubuh itu. Bagian yang turut sakit bila ada bagian lainnya yang
sakit. Rien…selama ini banyak hal yang telah kita lalui bersama. Suka, duka,
canda dan tawa. Kita saling memberi dan menerima. Jika ada di antara kita senang,
maka yang lain juga senang. Jika ada yang sedih, maka yang lain akan lebih
sedih lagi. Kita adalah saudara, saudara seiman. Apa yang kamu rasakan, itu
juga yang aku rasakan. Sekarang. . ., kamu cerita ya sama aku. Keluarkan apa
yang membuat sesak dada kamu. Katakan semua yang ingin kamu katakan. Apapun
masalah kamu sekarang, kita hadapi sama-sama,” dengan kedua tanganku kuhadapkan
wajahnya ke arahku. Ku temukan redup cahaya di matanya. “Aku sahabatmu, aku
saudaramu… katakan ada apa?”
Ia menggelengkan kepala, kedua
tanganku disentakkan dengan keras. Ia lalu berdiri.
“Enggak Fa! Cukup! Jangan pedulikan
aku! Urus dirimu sendiri!” Usai berkata seperti itu ia berlari meninggalkan
aku. Gema bel masuk melarangku untuk menyusulnya. Ku hapus air mataku. “Arien,
mungkin tidak hari ini kamu bisa cerita. Ya Allah, kuatkan hati sahabatku itu.
Bantulah ia dalam menyelesaikan masalah apapun yang tengah ia hadapi sekarang,
amiin…”
Arien masuk ke kelas ketika
pelajaran akan segera dimulai. Semenjak itu ia seperti bukan Arien yang aku
kenal.
Aku harus menyimpan dalam-dalam
beribu pertanyaan yang timbul dalam benakku. Aku dibuat heran dengan tingkah
Arien. Jika hari-hari sebelumnya wajah itu bersaput awan hitam, sekarang
mentari telah bertengger lagi di wajah bulat itu. Ia telah mau menyapaku, meskipun
dengan cara yang aneh, dengan tawa dan begitu riangnya. Belum lagi heranku
hilang, ia yang kini sering bersama geng Strange Girls, geng paling populer di
SMAN Pancasila, membuatku khawatir, sekaligus takut. Khawatir dengan
pergaulannya dengan komunitas remaja yang sering bikin onar itu. Namun
sapaannya padaku sedikit menghibur sekaligus mengubur lebih dalam berjuta tanya
dalam hatiku. Dengan terpaksa aku harus menghempaskan nafas lega dengan kembalinya
mentari di wajahnya. Meski sekarang ia tak lagi mewarnai hari-hariku dengan
tingkah lucunya.
Baru satu bulan aku jarang bersama
Arien aku sudah kangen mendengar ocehanya, kangen tergelak dengan candanya,
terhibur dengan renyah tawanya. Aku ingin Arien menjadi Arien yang dulu. Tapi
melihat ia kembali bisa tertawa mungkin telah cukup bagiku.
Hari itu, aku menahan diri untuk
tidak segera ke rumah sakit setelah mendengar kabar ini. Sungguh, dua jam
pelajaran rasanya seperti berabad-abad. Rasanya aku mendengar petir di siang
bolong. Rita baru saja mengatakan Arien sedang kritis di rumah sakit. Ia over
dosis.
Pagi ini rasanya
sangat sunyi. Lalu lalang kendaraan yang begitu bising seperti dibungkam oleh
angin, mungkin juga bising itu dibelokkannya ke arah lain hingga telingaku
tidak mendengarnya. Kakiku yang melangkah perlahan kadang terantuk batu-batu
yang lumayan besar yang terserak di jalan sempit itu. Tas plastik berisi bunga tabur
ku genggam lebih erat ketika di depan telah ku lihat gundukan tanah merah yang
masih basah. Langkahku terhenti beberapa depa dari gundukan itu. Ku baca
tulisan di papan yang tertancap di atasnya. Aku harus benar-benar sadar, sadar
bahwa seseorang yang ku sayangi berada di balik gundukan tanah itu. Dia sendiri
di sana. Beristirahat di alam sana.
Masih terbayang bagaimana wajah
pucatnya di rumah sakit kemarin. Wajah yang meringis menahan sakit. Dadaku
merasa sesak melihat penderitaannya. Kata dokter ia menelan lebih dari dua
puluh butir ekstasi. Usaha untuk menolongnya telah dilakukan. Namun semuanya
sia-sia. Aku tak pernah membayangkan hidup sahabatku akan berakhir dengan cara
seperti ini. Di tengah kesakitannya saat itu, dengan isyarat matanya ia memanggilku.
Aku mendekat. Masih terngiang kata-kata terakhir yang terbata diucapkannya.
“Fa. . aku minta maaf..telah membuatmu
khawatir… Terima kasih untuk persahabatan yang tulus darimu, untuk persaudaraan
yang begitu indah,” air matanya berlinang. Aku tak bisa menahan tangis. “
Terima kasih untuk semuanya.. aku pasti akan selalu ingat sama kamu, Fa.. Tapi
aku ingin kamu lupa kalau kamu pernah kenal sama aku”
Aku menggelengkan kepala,”Nggak
Rien.. nggak..”
“Fa..,“ suaranya melemah, ”kalau aku
pergi..ambillah diaryku, aku ingin kamu tau semuanya dari sana”
Dia semakin kesakitan,
nafasnya tersengal-sengal,“kamu tau Fa..di mana.. mamaku?”
“Sudahlah Rien.. kamu jangan terlalu
banyak bicara dulu. Kamu harus istirahat, agar kamu cepat sembuh.”
Tapi aku tahu, kata-kataku tadi
sia-sia. Syahadatain yang ku ejakan berhasil diucapkannya. Dadanya tidak lagi
turun naik. Ku lihat matanya, cahaya mata itu semakin redup, samar dan akhirnya
hilang. Ia telah pergi.
Desau angin yang menampar keras
wajahku menyadarkanku dari lamunan. Ku hampiri gundukan tanah di depanku.
Dengan isak yang tertahan aku berkata lirih, “Arien.. sekarang kamu telah bebas
dari himpitan yang selalu menyesakkan dadamu. Kamu takkan lagi mendengarkan
pertengkaran-pertengkaran itu. Kamu takkan sedih lagi karena perceraian orang
tuamu, terpukul dengan penangkapan papamu karena korupsi yang dilakukannya.”
“Arien.. kenapa kamu tidak
memberitahukan aku tentang ini. Aku sahabatmu, aku selalu siap mendengarkanmu.
Tapi sekarang aku tahu. Katamu, kamu tak ingin membebani aku dengan masalahmu. Seandainya kamu
cerita mungkin semunya takkan seperti ini… aahh…, aku harus ikhlas, ini semua
takdir Allah.”
Ku tarik nafasku dalam-dalam seraya
menaburkan bunga dari plastik hitam.
“Saudaraku.. aku mencintaimu karena
Allah, kita bertemu atas kehendak Allah, dan berpisahpun atas kehendak-Nya.
Terlalu banyak kenangan di antara kita. Aku akan selalu mengenangmu. Aku juga
akan selalu mendoakanmu. Semoga sekarang kamu berada di sepotong taman surga
dengan limpahan rahmat dan maghfirah-Nya. Semoga kita kembali dipertemukan
Allah kelak di hari yang jauh dari kefanaan, yang takkan ada lagi perpisahan, amiin..”
Berat rasanya meninggalkan Arien
sendirian di sini. Namun gerimis menyuruhku untuk pulang. Aku berdiri, ku hapus
air mataku.
“Selamat tinggal sahabat..”
Aku berbalik dan menyusuri jalan
yang tadi ku lalui. Ku percepat langkahku sebelum tetes kecil air hujan membuat
tubuhku lebih menggigil. Aku kembali menoleh ke belakang, “semoga kamu telah
damai dalam pangkuan rahmat Allah”, doaku dalam hati.
Di ufuk barat, matahari gigih
menyembulkan dirinya dari balik awan hitam yang bergumul. Kulihat secercah
cahaya keemasannya mengusir sedikit bayang hitam di sisi lengkung cakrawala
senja. Sebentar lagi tunailah titah Tuhan dilaksanakannya, menyinari belahan
bumi tempat ku berpijak untuk kemudian kembali terbit di belahan bumi lain.
Begitu seterusnya hingga sampai pada waktu yang telah ditentukan.
Kulanjutkan langkah ketika jubah
hitam mulai membentang. Malam menjelang dengan tanpa kehadiran sang rembulan.
Amuntai, Selasa,
28 Desember 2010, 03.20 dini hari