Senin, 16 April 2012

serambi hati : ramadhan

Ramadhan


Baki-baki hidangan surga
Anggur merah menggugah dalam piala
Gelas-gelas madu lezat
Akan beranjak kini
Hari-hari suci
Yang pekat dalam mabuk pesona surgawi
Detik-detik bertabur wangi kesturi
Dengan taman Firdausi menghiasi
Akan segera pergi
Dan entah. . bisakah nanti dikecap kembali
Di setiap ketukan jam waktu
Di sela-sela ketiak debu
Tuhan selipkan  rahmah dan maghfirah
Senantiasa. . .
Hanya kita yang yang  lengah              
Seakan tak hendak tangan menjamah
Rasailah, meski satu cecap di lidah


Amuntai
30 Agustus 2011

sereambi hati : epesode hujan

Episode Hujan

Gemuruh…
Kilat ikut bertingkah
Butir molekul air yang lelah kini menggelosorkan diri ke bumi yang rekah
Basah…
Dingin menelikung diri, gemeretak geraham dibuatnya
Tapi gemericik itu menggoda tuk dibelai
Butiran kecil menerpa wajah, mengabarkan datangnya
Aiiihh.. aku mau bermain air saja


Amuntai, 11 Februari 2012

serambi hati : teratai putih


Teratai Putih
 
Di tengah kedamaian danau
Teratai lahir dari rahim subuh
Mekar di keperawanan pagi
Berbalut kesahajaan diri
Embun sejuk menyela di kelopaknya
Kemilau diterpa seberkas cahaya
Begitu anggun ia
Tabah jalani hari
Teratai putih.. dia sungguh menawan hati


By: Nahdiatul Husna
Amuntai, 22 Juni 2011

serambi hati : tangis anak palestina


Tangis Anak Palestina
By: Nahdiatul Husna
Di serpihan hitam arang
Di reruntuhan gedung tua
Ku sayupkan duka penuh lara
Sekarang aku sebatang rapuh
Yang membangunkan Abi
Memanggil Umi
Tapi tak bisa, mereka melambaikan tangan di pelupuk mata
Menyematkan kata, selamat tinggal buat selama
Oh Abi.. wahai Umi
Mereka telah merenggut tawaku
Melumatkan riang senyumku
Dengan desing peluru
Dengan gemuruh rudal angkuh berseru
Abi.. Umi…
Katakan pada mereka, kembalikan hari-hariku
Yang dilingkup wangi damai penuh cinta
Tanpa kucur darah, belenggu takut dan air mata
Kini, aku sebatang rapuh
Yang mendamba atmosfer cinta
Untuk damai bumiku
Bumi Palestina

Amuntai, 15 Januari 2009

serambi hati : sujud terakhir

Sujud Terakhir



 
Di hampar kain panjang
Menghambur remuk hati                                                                  
Menghempas rapuh jiwa
Lelah lidahku menjilat dunia
Ringkih tubuhku memeluk asa
Aku datang dan kadang pergi, silih berganti
Inginku selalu ada, hadir di setiap ruang dan waktu
Selalu  ringan tuk mengingat
Selalu tabah dalam melangkah
Di hampar kain panjang                     
Menepis hawa semu
Memetik manis madu
Buah dari secarik pengabdian
Dari dendang samar dzikir lisan
Menghitung detak waktu
Mengais hembus nafas
Jika tiba di ujung jalan musafir
Jemput aku dengan balutan gaun fitrah
Bila sukma digenggam takdir
Dekap aku dalam hening
Di atas hampar kain panjang, di sujud terakhirku


Amuntai,Sabtu, 20 Desember 2008

serambi hati : cerita sang embun


Cerita Sang Embun
By: Nahdiatul Husna
Inilah aku, butir embun di lekuk daun
Di kelopak bunga yang berayun
Aku tak sabar menanti
Semburat sinar mentari
Terpaannya membuatku bagai taburan intan
Kemilauku akan indah menawan
Tapi aku tau bagaimana aku terlahir
Aku lebih tahu bagaimana aku berakhir
Ku tak mau luruh di kubangan basah
Atau di sengatan gurun
Beningku akan mengabur
Atau ku pangku kebinasaan, dan aku ‘kan tersia
Hei lihat! Burung kecil datang
Ia melirikku
Aku menunggu…
‘Hup!’ paruhnya menyergapku
Aku bersorak
Yea!
Ku harap menjadi penghapus dahaganya
Membuatku lebih bermakna

 Amuntai, 18 Januari 2009

serambi hati : Cinta di Jelaga Hati

Cinta di Jelaga Hati
By: Nahdiatul Husna
Rabbi…  apakah aku, siapakah aku?
Aku bukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa
Aku hanya seorang hamba-Mu yang lemah
Di antara tentara-Mu yang gagah
Aku seorang hamba-Mu yang hina
Di antara kekasih-Mu yang mulia
Aku sebentuk makhluk nista
Di antara mereka para aulia
Aku sepotong jiwa mati
Di antara jiwa lain yang hidup
Aku sekerat hati gelap
Di antara cahaya hati nan suci
Aku seonggok raga busuk
Di antara harum tubuh yang semerbak
Aku sehelai kain buruk
Di antara megahnya lembut sutera
Aku hanya sebulir pasir
Di antara bentang kilau mutiara
Aku hanya sebiji kerikil
Di antara benderang intan zamrud
Aku hanya bintang kecil redup
Di antara nyala terang bintang kejora
Aku hanya setes air
Aku  hanya setitik debu
Aku hanya sebulir atom
Yang kan sirna di sempurna penghambaan kepada-Mu
Apakah aku, siapakah aku
Aku tak pantas berhajat kepada-Mu
Tak pantas tuk menengadah meminta pada-Mu
Tak pantas beringsut menuju kursi-Mu
Tak pantas menyentuh surga-Mu
Rabbi… aku kotor, aku berlumur dosa
Aku berselubung maksiat
Aku berselimut lara
Aku berbalut papa
Tapi, keluasan rahmat-Mu Rabbi
Menerbitkan segenggam cinta tersembunyi
Yang menjelmakan secuil rindu
Cinta dan rindu yang ku pendam di kehitaman jelaga qalbu

Amuntai, 17 April 2009

serambi hati : merindu langit mekkah

Merindu Langit Mekkah


Hasrat yang tak  terperi
Menerbitkan separas rembulan
Dengan terang sinar purnama
Di sudut-sudut gelapnya hati
Di relung-relung kelam tersembunyi
Singkirkan sepenuh kesia-siaan
 Membuang segala kehampaan
Yang menjerat, menguasai
Liar jiwaku mencari-cari
Menyingkap celah yang tertutupi
Aku bertanya-tanya dan berlari-lari
Memagar sepi dan akupun sendiri
Inginkan seberkas cahaya di sanubari
Sergapan aroma yang penuh misteri
Tak terperi hasratku ini
Meraih purnama rembulan
Dengan  pancaran cahaya Illahi
Merenggut mimpi yang nyata
Menghiasi indah iman pada kasih-Nya
Di naung payungan mega
Meghamba diri senantiasa
Di bawah lindungan rumah suci
Menjadi sosok insan rabbani
Di tengah kerinduan yang merekah
Pada jingganya langit Mekkah


Amuntai, 1 Januari 2009

serambi hati : mendung di langit hatiku


Mendung di Langit Hatiku
by: nahdiatul husna

Mendung di langit hatiku
Awan-awan bergantungan di atmosfer kelabu
Kenapa harus begini      
Awan itu terus membayangi
Dan rona sunyi bergelayut di kolong langit senja
Meski angin barat genit menggoda-goda
Tak hendak beranjak ia

Benci! Aku benci!
Dan aku tak mau bertanya kembali
Mengapa harus benci
Mengapa dan mengapa, lagi-lagi mengapa
Aaah . . . jemu juga menggugat debu

Mendung di langit hatiku
Awan-awan bergantungan di atmosfer kelabu
Ku hembus-hembus ia agar berlalu
Tapi badai malah mengancamku di kaki langit itu, oh tidak…!

Hampa ini terasa merasuk
Aku begitu sendiri
Entah kenapa kau yang ku harap hadir kini
Tak ku sangka kau malah mengekalkan sepi
Enggan menyapa meski hanya satu sepoi angin saja
Ku rasa akupun tak mau
Kau harus tau itu
Mendung di langit hatiku
Awan-awan bergantungan di atmosfer kelabu

 Amuntai, 11 Februari 2012

serambi hati : kembali ke syahadat

Kembali ke Syahadat

by: nahdiatul husna

Tuhan… di kegelisahanku ini
Berkelebat bayang-bayang buram dosa
Kalam-Mu yang selalu ku sisih
Panggilan-Mu yang selalu ku abai
Perintah-Mu yang ku jauh
Larangan-Mu yang ku langgar
Teguran-Mu yang ku acuh
Nikmat-Mu yang ku ingkar
Adzab-Mu yang ku gugat
Terjerembab ku di lembah hitam
Terperosok di jurang yang dalam
Ku telah lena dimabuk rayu syetan
Ku terpasung di jerat kekang nafsu
Tuhan…
Aku ingin berpaling
Memungut jejak langkah
Menjamah serakan yang patah
Ku ingin kembali mengetuk setiap pintu-Mu
Bersimpuh tangis di bawah kursi-Mu
Meniti sepanjang shirath mustaqim-Mu
Benderang di bawah lentera suci-Mu
Izinkan aku kembali di barisan shaf-Mu
Izinkan aku kembali menjadi laskar tentara-Mu
Izinkan aku kembali berpegang pada tali-Mu
Tuhan…, izinkan aku kembali membasuh noda hitamku
Dengan tetesan air wudhu
Menawarkan lidahku dengan senandung rindu
Izinkan aku kembali menggelar lembar baruku
Menghirup suci awal nafasku
Kembali ke syahadatku

Amuntai, 11 Januari 2009

serambi hati : Guru Sang Pioner

Guru Sang Pioner
By: Nahdiatul Husna


Kejora di matamu, Guru
Dan aurora bersanding di kornea
Kelipnya tak bungkam berkisah
Tentang pancar hidup cahaya bakti
Buat cawan-cawan putih nan bersih
Kokoh karang di dadamu,Guru
Perisai yang tak hambur beretak
Oleh hantam ombak, oleh deru badai
Menghidupkan dedaun layu
Meneguhkan pilar yang ragu
Senyum di rautmu,Guru
Mengembun di wajah-wajah lugu
Memekarkan tunas-tunas pertiwi
Gemulaikan tarian tinta emas
Mengukir prasasti, di lintas generasi
Sutera berkepit di jemarimu, Guru
Yang meredam gejolak rimba
Menuntun ke cahaya
Menuju peradaban sempurna
Guru…
Kau tapak perintis tuk arungi jeram kehidupan
Mendayung biduk mengajak ke muara
Menjemput fajar-fajar
Terus mengejar
Hingga benang senja lingkari buana
Amuntai, 5 Februari 2009
*buat guru-guruku tercinta di manapun berada

Segores Pena : Aku Sahabatmu

By: Nahdiatul Husna

                                                           Aku Sahabatmu

            Lengking nyaring memekak telinga dari bel di ruang piket cukup sebagai komando bagi siswa untuk segera masuk ke kelas masing-masing. Aku bergegas menuju ke kelas setelah tadi sempat ngobrol sebentar dengan Linda di kantin. Biasanya begitu tiba di sekolah aku langsung ke kelas menunggu bel menjerit. Tapi setelah aku memarkir sepeda Linda langsung menarikku ke kantin mengajak melanjutkan diskusi tentang acara liburan semester gasal mendatang.
            “Lho?? Arien kok belum datang?” gumamku kaget begitu ku lihat kursi di sampingku kosong. Teman sebangkuku yang centil itu sangat jarang telat ke sekolah. Ia selalu datang lebih awal dariku. Dan sambil memamerkan senyum manisnya biasanya ia akan meledekku.
            “Kamu memang generasi penerus budaya Indonesia ya? Budaya jam karet!” atau mengatakan “Tuan puteri ini pasti baru aja bangun tidur, trus langsung ke sekolah. Duuuh… kacian banget aku hari ini harus sebangku sama kambing…!”
            Bila ia meledek aku seperti itu aku biasanya cuma tersenyum atau mencubit lengannya keras-keras.
            “Aku tau kamu pagi-pagi ke sekolah cuma pengen godain cowok-cowok, kalo nggak, pasti cari perhatian si kapten basket yang lagi latihan di halaman belakang”, kataku dalam hati.
            Rupanya ledekannya itu tak kan hinggap di telingaku hari ini. Aku berharap ia akan segera datang. Tapi sampai Pak Edo masuk, Arien masih tak tampak batang hidungnya.
            Tak biasanya ia seperti ini. Kalau sakit, setidaknya ia akan mengirim sms padaku. Atau ada kiriman surat dari pembantunya. Jika ia bolos akupun akan tahu, karena ia akan bilang padaku seperti beberapa bulan yang lalu. Berbagai kemungkinan berkelabat di benakku. Sesuatu telah terjadi padanya. Ya Allah, tidak. Semoga ia tidak apa-apa. Tapi. . . gara-gara dia konsentrasi belajarku hari ini benar-benar terganggu.
            “Duuuhh Arien…! Kau membuat nilai kimiaku hari ini seperti bebek kegirangan   mendapat air”, gerutuku dalam hati. :-<
           
Pelan-pelan ku kayuh sepedaku sepulang dari sekolah. Pikiranku, masih terisi tentang Arien. Arien yang periang, lucu dengan baby face yang bikin gemes. Sifatnya agak kekanakan, manja dan kurang pikir panjang. Namun ia seorang pendengar yang baik, peka terhadap penderitaan orang lain dan setia kawan. Aku masih ingat ketika mencari tempat duduk di kelas baru di hari pertama masuk sekolah, aku kehabisan kursi. Kebetulan ia sendirian, ia mengajakku menjadi teman sebangkunya. Tentu saja aku mau.
            Kami berdua semakin akrab. Apalagi ia bilang ingin belajar al-quran dan meminta aku mengajarinya. Ia bilang kalau ia malu, ia beragama islam tapi tidak bisa membaca al-quran. Aku jadi sering ke rumahnya. Ia banyak bertanya tentang agama Islam. Sedikit demi sedikit akhirnya ia mulai berubah. Pakaiannya lebih sopan meskipun belum berjilbab. Katanya ia juga punya keinginan untuk itu, tapi belum terealisasikan.
            Ba’da ashar…
            Ku ambil hpku. Aku kaget. Ada sms dari Arien, setelah tadi sms dan teleponku tidak diresponnya. Di layar hpku tertera pesan yang dikirim beberapa saat yang lalu.

Hai rifa, kmu gk usah khawatirin aku. Aku baik2 aj. Besk aku sdh masuk lg kq. c u honey…

            Senyumku yang sempat mengembang sekarang perlahan pudar. Singkat dan dingin, itulah kesan isi smsnya. Meskipun ada ‘c u honey’ yang menandakan ia seperti biasa, riang, tapi entah kenapa ada kabut-kabut tipis dari susunan kata-katanya. Ada sesuatu… sesuatu yang aku tak tau. Namun segera ku tepis ‘sesuatu’ yang aneh itu. Ku anggap saja keisengannya sedang kambuh dan ia lupa bilang kalau ia mau bolos. Ku balas smsnya.

Hmmm..Ok honey. Besok aku tunggu kamu dan siapkan jwbn lengkap utk segudang prtanyaan drku. Salam.

            Ku letakan hpku di atas bupet dan ku ambil buku biologi. Dengan sedikit kelegaan yang ku rasakan ku fokuskan konsentrasiku untuk memasuki dunia monera dengan organisme mikroskopisnya.
           
Setelah hari itu ku lihat Arien sering duduk termenung sendirian. Beberapa hari ini juga ia sering ku pergoki sedang menangis di sudut taman belakang sekolah. Ia tidak mau aku dekati. Ia menghindar dariku setiap ku tanya kenapa.
             Ketidaktahuanku tentang alasan ia bolos sama seperti ketidaktahuanku mengapa ia jadi seperti ini. Ia biasanya periang. Namun kini wajahnya kelam bersaput awan. Aku yakin ia memendam sesuatu yag tidak ingin ia ceritakan. Aku tidak ingin memaksanya mengeluarkan isi hatinya. Kupikir ia akan segera kembali seperti biasa. Tapi sampai hari ini ia tetap kelihatan sedih. Aku tau ia tidak konsentrasi saat belajar. Ia memang duduk di sampingku, tapi pikirannya melayang entah kemana. Tatapan matanya kosong dan kadang ada bening air di sudut matanya. Ia menangis. Kalau sudah begini aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tak tau cara menghiburnya.
            Sebagai sahabatnya tentu saja aku tidak bisa membiarkannya begini terus. Ketika jam istirahat, ku susul ia yang telah lebih dahulu duduk di bangku panjang taman belakang yang menjadi teman setianya beberapa hari ini.
            “Assalamualaikum..”, ucapku pelan agar ia tak terkejut.
            “Ee..wa.. waalaikum salam”, jawabnya agak gagap. Ia hanya menoleh sebentar, perhatiannya kembali pada kertas-kertas kecil yang sedari tadi disobek-sobeknya.
            “Arien . . .”, panggilku lembut, “kamu sedang apa di sini?”
            Ia tidak menjawab. Aku duduk di sampingnya.
            “Emm. . . ku lihat kamu beberapa hari ini berubah. Kamu kelihatan sedih. Ada apa Rien? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?”, ucapku hati-hati.
            “Fa! Aku sudah bilang aku nggak papa! Aku mohon jangan tanyakan apa-apa lagi sama aku!”, jawabnya agak keras. Suaranya bergetar.s
            “Rien, aku yakin kamu begini bukannnya tanpa sebab. Pasti ada alasannya. Jika  kamu punya masalah jangan ragu, ceritakan kepadaku”, bujukku lagi.
            “Nggak! Aku. . .aku nggak papa!”, matanya berkaca-kaca. Ia menarik nafas.  “Faa. . . , aku nggak sanggup. . . aku nggak sanggup ceritainnya”. Air itu hampir menetes dari mata sayunya. Ia meremas-remas tangan, sekuat tenaga menahan agar tak menangis. Tapi akhirnya tangis itu pecah juga.
            “Arien. . sahabatku,” ku sentuh bahunya, “bila kamu masih menganggap aku sahabat, aku pengen menjadi sahabat yang baik buat kamu. Sahabat yang selalu siap mendengar keluh kesahmu. . sahabat yang ikut senang bila kamu senang, ikut sedih bila kamu sedih,”ucapku sambil terisak. Meski aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku mencoba merasakan bagaimana suasana hati sahabatku. Masalah seperti apa, duka sedalam apa hingga membuat senyum manis beranjak dari wajah sahabat yang kusayangi ini.
            Arien semakin sesenggukan.
            “Arini. . “ kali ini ku panggil ia dengan nama kesayangannya,” kamu ingat kan dengan hadits Nabi yang mengatakan bahwa sesama muslim bagaikan sebatang tubuh. Aku ingin Rien, menjadi bagian dari batang tubuh itu. Bagian yang turut sakit bila ada bagian lainnya yang sakit. Rien…selama ini banyak hal yang telah kita lalui bersama. Suka, duka, canda dan tawa. Kita saling memberi dan menerima. Jika ada di antara kita senang, maka yang lain juga senang. Jika ada yang sedih, maka yang lain akan lebih sedih lagi. Kita adalah saudara, saudara seiman. Apa yang kamu rasakan, itu juga yang aku rasakan. Sekarang. . ., kamu cerita ya sama aku. Keluarkan apa yang membuat sesak dada kamu. Katakan semua yang ingin kamu katakan. Apapun masalah kamu sekarang, kita hadapi sama-sama,” dengan kedua tanganku kuhadapkan wajahnya ke arahku. Ku temukan redup cahaya di matanya. “Aku sahabatmu, aku saudaramu… katakan ada apa?”
            Ia menggelengkan kepala, kedua tanganku disentakkan dengan keras. Ia lalu berdiri.
            “Enggak Fa! Cukup! Jangan pedulikan aku! Urus dirimu sendiri!” Usai berkata seperti itu ia berlari meninggalkan aku. Gema bel masuk melarangku untuk menyusulnya. Ku hapus air mataku. “Arien, mungkin tidak hari ini kamu bisa cerita. Ya Allah, kuatkan hati sahabatku itu. Bantulah ia dalam menyelesaikan masalah apapun yang tengah ia hadapi sekarang, amiin…”
            Arien masuk ke kelas ketika pelajaran akan segera dimulai. Semenjak itu ia seperti bukan Arien yang aku kenal.
            Aku harus menyimpan dalam-dalam beribu pertanyaan yang timbul dalam benakku. Aku dibuat heran dengan tingkah Arien. Jika hari-hari sebelumnya wajah itu bersaput awan hitam, sekarang mentari telah bertengger lagi di wajah bulat itu. Ia telah mau menyapaku, meskipun dengan cara yang aneh, dengan tawa dan begitu riangnya. Belum lagi heranku hilang, ia yang kini sering bersama geng Strange Girls, geng paling populer di SMAN Pancasila, membuatku khawatir, sekaligus takut. Khawatir dengan pergaulannya dengan komunitas remaja yang sering bikin onar itu. Namun sapaannya padaku sedikit menghibur sekaligus mengubur lebih dalam berjuta tanya dalam hatiku. Dengan terpaksa aku harus menghempaskan nafas lega dengan kembalinya mentari di wajahnya. Meski sekarang ia tak lagi mewarnai hari-hariku dengan tingkah lucunya.
            Baru satu bulan aku jarang bersama Arien aku sudah kangen mendengar ocehanya, kangen tergelak dengan candanya, terhibur dengan renyah tawanya. Aku ingin Arien menjadi Arien yang dulu. Tapi melihat ia kembali bisa tertawa mungkin telah cukup bagiku.


            Hari itu, aku menahan diri untuk tidak segera ke rumah sakit setelah mendengar kabar ini. Sungguh, dua jam pelajaran rasanya seperti berabad-abad. Rasanya aku mendengar petir di siang bolong. Rita baru saja mengatakan Arien sedang kritis di rumah sakit. Ia over dosis.
           
Pagi ini rasanya sangat sunyi. Lalu lalang kendaraan yang begitu bising seperti dibungkam oleh angin, mungkin juga bising itu dibelokkannya ke arah lain hingga telingaku tidak mendengarnya. Kakiku yang melangkah perlahan kadang terantuk batu-batu yang lumayan besar yang terserak di jalan sempit itu. Tas plastik berisi bunga tabur ku genggam lebih erat ketika di depan telah ku lihat gundukan tanah merah yang masih basah. Langkahku terhenti beberapa depa dari gundukan itu. Ku baca tulisan di papan yang tertancap di atasnya. Aku harus benar-benar sadar, sadar bahwa seseorang yang ku sayangi berada di balik gundukan tanah itu. Dia sendiri di sana. Beristirahat di alam sana.
            Masih terbayang bagaimana wajah pucatnya di rumah sakit kemarin. Wajah yang meringis menahan sakit. Dadaku merasa sesak melihat penderitaannya. Kata dokter ia menelan lebih dari dua puluh butir ekstasi. Usaha untuk menolongnya telah dilakukan. Namun semuanya sia-sia. Aku tak pernah membayangkan hidup sahabatku akan berakhir dengan cara seperti ini. Di tengah kesakitannya saat itu, dengan isyarat matanya ia memanggilku. Aku mendekat. Masih terngiang kata-kata terakhir yang terbata diucapkannya.
            “Fa. . aku minta maaf..telah membuatmu khawatir… Terima kasih untuk persahabatan yang tulus darimu, untuk persaudaraan yang begitu indah,” air matanya berlinang. Aku tak bisa menahan tangis. “ Terima kasih untuk semuanya.. aku pasti akan selalu ingat sama kamu, Fa.. Tapi aku ingin kamu lupa kalau kamu pernah kenal sama aku”
            Aku menggelengkan kepala,”Nggak Rien.. nggak..”
            “Fa..,“ suaranya melemah, ”kalau aku pergi..ambillah diaryku, aku ingin kamu tau semuanya dari sana”
                        Dia semakin kesakitan, nafasnya tersengal-sengal,“kamu tau Fa..di mana.. mamaku?”
            “Sudahlah Rien.. kamu jangan terlalu banyak bicara dulu. Kamu harus istirahat, agar kamu cepat sembuh.”
            Tapi aku tahu, kata-kataku tadi sia-sia. Syahadatain yang ku ejakan berhasil diucapkannya. Dadanya tidak lagi turun naik. Ku lihat matanya, cahaya mata itu semakin redup, samar dan akhirnya hilang. Ia telah pergi.
            Desau angin yang menampar keras wajahku menyadarkanku dari lamunan. Ku hampiri gundukan tanah di depanku. Dengan isak yang tertahan aku berkata lirih, “Arien.. sekarang kamu telah bebas dari himpitan yang selalu menyesakkan dadamu. Kamu takkan lagi mendengarkan pertengkaran-pertengkaran itu. Kamu takkan sedih lagi karena perceraian orang tuamu, terpukul dengan penangkapan papamu karena korupsi yang dilakukannya.”
            “Arien.. kenapa kamu tidak memberitahukan aku tentang ini. Aku sahabatmu, aku selalu siap mendengarkanmu. Tapi sekarang aku tahu. Katamu, kamu tak ingin membebani    aku dengan masalahmu. Seandainya kamu cerita mungkin semunya takkan seperti ini… aahh…, aku harus ikhlas, ini semua takdir Allah.”
            Ku tarik nafasku dalam-dalam seraya menaburkan bunga dari plastik hitam.
            “Saudaraku.. aku mencintaimu karena Allah, kita bertemu atas kehendak Allah, dan berpisahpun atas kehendak-Nya. Terlalu banyak kenangan di antara kita. Aku akan selalu mengenangmu. Aku juga akan selalu mendoakanmu. Semoga sekarang kamu berada di sepotong taman surga dengan limpahan rahmat dan maghfirah-Nya. Semoga kita kembali dipertemukan Allah kelak di hari yang jauh dari kefanaan, yang takkan ada lagi perpisahan, amiin..”
            Berat rasanya meninggalkan Arien sendirian di sini. Namun gerimis menyuruhku untuk pulang. Aku berdiri, ku hapus air mataku.
            “Selamat tinggal sahabat..”
            Aku berbalik dan menyusuri jalan yang tadi ku lalui. Ku percepat langkahku sebelum tetes kecil air hujan membuat tubuhku lebih menggigil. Aku kembali menoleh ke belakang, “semoga kamu telah damai dalam pangkuan rahmat Allah”, doaku dalam hati.
            Di ufuk barat, matahari gigih menyembulkan dirinya dari balik awan hitam yang bergumul. Kulihat secercah cahaya keemasannya mengusir sedikit bayang hitam di sisi lengkung cakrawala senja. Sebentar lagi tunailah titah Tuhan dilaksanakannya, menyinari belahan bumi tempat ku berpijak untuk kemudian kembali terbit di belahan bumi lain. Begitu seterusnya hingga sampai pada waktu yang telah ditentukan.
            Kulanjutkan langkah ketika jubah hitam mulai membentang. Malam menjelang dengan tanpa kehadiran sang rembulan.


Amuntai, Selasa, 28 Desember 2010, 03.20 dini hari