Senin, 16 April 2012

Segores Pena : Aku Sahabatmu

By: Nahdiatul Husna

                                                           Aku Sahabatmu

            Lengking nyaring memekak telinga dari bel di ruang piket cukup sebagai komando bagi siswa untuk segera masuk ke kelas masing-masing. Aku bergegas menuju ke kelas setelah tadi sempat ngobrol sebentar dengan Linda di kantin. Biasanya begitu tiba di sekolah aku langsung ke kelas menunggu bel menjerit. Tapi setelah aku memarkir sepeda Linda langsung menarikku ke kantin mengajak melanjutkan diskusi tentang acara liburan semester gasal mendatang.
            “Lho?? Arien kok belum datang?” gumamku kaget begitu ku lihat kursi di sampingku kosong. Teman sebangkuku yang centil itu sangat jarang telat ke sekolah. Ia selalu datang lebih awal dariku. Dan sambil memamerkan senyum manisnya biasanya ia akan meledekku.
            “Kamu memang generasi penerus budaya Indonesia ya? Budaya jam karet!” atau mengatakan “Tuan puteri ini pasti baru aja bangun tidur, trus langsung ke sekolah. Duuuh… kacian banget aku hari ini harus sebangku sama kambing…!”
            Bila ia meledek aku seperti itu aku biasanya cuma tersenyum atau mencubit lengannya keras-keras.
            “Aku tau kamu pagi-pagi ke sekolah cuma pengen godain cowok-cowok, kalo nggak, pasti cari perhatian si kapten basket yang lagi latihan di halaman belakang”, kataku dalam hati.
            Rupanya ledekannya itu tak kan hinggap di telingaku hari ini. Aku berharap ia akan segera datang. Tapi sampai Pak Edo masuk, Arien masih tak tampak batang hidungnya.
            Tak biasanya ia seperti ini. Kalau sakit, setidaknya ia akan mengirim sms padaku. Atau ada kiriman surat dari pembantunya. Jika ia bolos akupun akan tahu, karena ia akan bilang padaku seperti beberapa bulan yang lalu. Berbagai kemungkinan berkelabat di benakku. Sesuatu telah terjadi padanya. Ya Allah, tidak. Semoga ia tidak apa-apa. Tapi. . . gara-gara dia konsentrasi belajarku hari ini benar-benar terganggu.
            “Duuuhh Arien…! Kau membuat nilai kimiaku hari ini seperti bebek kegirangan   mendapat air”, gerutuku dalam hati. :-<
           
Pelan-pelan ku kayuh sepedaku sepulang dari sekolah. Pikiranku, masih terisi tentang Arien. Arien yang periang, lucu dengan baby face yang bikin gemes. Sifatnya agak kekanakan, manja dan kurang pikir panjang. Namun ia seorang pendengar yang baik, peka terhadap penderitaan orang lain dan setia kawan. Aku masih ingat ketika mencari tempat duduk di kelas baru di hari pertama masuk sekolah, aku kehabisan kursi. Kebetulan ia sendirian, ia mengajakku menjadi teman sebangkunya. Tentu saja aku mau.
            Kami berdua semakin akrab. Apalagi ia bilang ingin belajar al-quran dan meminta aku mengajarinya. Ia bilang kalau ia malu, ia beragama islam tapi tidak bisa membaca al-quran. Aku jadi sering ke rumahnya. Ia banyak bertanya tentang agama Islam. Sedikit demi sedikit akhirnya ia mulai berubah. Pakaiannya lebih sopan meskipun belum berjilbab. Katanya ia juga punya keinginan untuk itu, tapi belum terealisasikan.
            Ba’da ashar…
            Ku ambil hpku. Aku kaget. Ada sms dari Arien, setelah tadi sms dan teleponku tidak diresponnya. Di layar hpku tertera pesan yang dikirim beberapa saat yang lalu.

Hai rifa, kmu gk usah khawatirin aku. Aku baik2 aj. Besk aku sdh masuk lg kq. c u honey…

            Senyumku yang sempat mengembang sekarang perlahan pudar. Singkat dan dingin, itulah kesan isi smsnya. Meskipun ada ‘c u honey’ yang menandakan ia seperti biasa, riang, tapi entah kenapa ada kabut-kabut tipis dari susunan kata-katanya. Ada sesuatu… sesuatu yang aku tak tau. Namun segera ku tepis ‘sesuatu’ yang aneh itu. Ku anggap saja keisengannya sedang kambuh dan ia lupa bilang kalau ia mau bolos. Ku balas smsnya.

Hmmm..Ok honey. Besok aku tunggu kamu dan siapkan jwbn lengkap utk segudang prtanyaan drku. Salam.

            Ku letakan hpku di atas bupet dan ku ambil buku biologi. Dengan sedikit kelegaan yang ku rasakan ku fokuskan konsentrasiku untuk memasuki dunia monera dengan organisme mikroskopisnya.
           
Setelah hari itu ku lihat Arien sering duduk termenung sendirian. Beberapa hari ini juga ia sering ku pergoki sedang menangis di sudut taman belakang sekolah. Ia tidak mau aku dekati. Ia menghindar dariku setiap ku tanya kenapa.
             Ketidaktahuanku tentang alasan ia bolos sama seperti ketidaktahuanku mengapa ia jadi seperti ini. Ia biasanya periang. Namun kini wajahnya kelam bersaput awan. Aku yakin ia memendam sesuatu yag tidak ingin ia ceritakan. Aku tidak ingin memaksanya mengeluarkan isi hatinya. Kupikir ia akan segera kembali seperti biasa. Tapi sampai hari ini ia tetap kelihatan sedih. Aku tau ia tidak konsentrasi saat belajar. Ia memang duduk di sampingku, tapi pikirannya melayang entah kemana. Tatapan matanya kosong dan kadang ada bening air di sudut matanya. Ia menangis. Kalau sudah begini aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tak tau cara menghiburnya.
            Sebagai sahabatnya tentu saja aku tidak bisa membiarkannya begini terus. Ketika jam istirahat, ku susul ia yang telah lebih dahulu duduk di bangku panjang taman belakang yang menjadi teman setianya beberapa hari ini.
            “Assalamualaikum..”, ucapku pelan agar ia tak terkejut.
            “Ee..wa.. waalaikum salam”, jawabnya agak gagap. Ia hanya menoleh sebentar, perhatiannya kembali pada kertas-kertas kecil yang sedari tadi disobek-sobeknya.
            “Arien . . .”, panggilku lembut, “kamu sedang apa di sini?”
            Ia tidak menjawab. Aku duduk di sampingnya.
            “Emm. . . ku lihat kamu beberapa hari ini berubah. Kamu kelihatan sedih. Ada apa Rien? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?”, ucapku hati-hati.
            “Fa! Aku sudah bilang aku nggak papa! Aku mohon jangan tanyakan apa-apa lagi sama aku!”, jawabnya agak keras. Suaranya bergetar.s
            “Rien, aku yakin kamu begini bukannnya tanpa sebab. Pasti ada alasannya. Jika  kamu punya masalah jangan ragu, ceritakan kepadaku”, bujukku lagi.
            “Nggak! Aku. . .aku nggak papa!”, matanya berkaca-kaca. Ia menarik nafas.  “Faa. . . , aku nggak sanggup. . . aku nggak sanggup ceritainnya”. Air itu hampir menetes dari mata sayunya. Ia meremas-remas tangan, sekuat tenaga menahan agar tak menangis. Tapi akhirnya tangis itu pecah juga.
            “Arien. . sahabatku,” ku sentuh bahunya, “bila kamu masih menganggap aku sahabat, aku pengen menjadi sahabat yang baik buat kamu. Sahabat yang selalu siap mendengar keluh kesahmu. . sahabat yang ikut senang bila kamu senang, ikut sedih bila kamu sedih,”ucapku sambil terisak. Meski aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku mencoba merasakan bagaimana suasana hati sahabatku. Masalah seperti apa, duka sedalam apa hingga membuat senyum manis beranjak dari wajah sahabat yang kusayangi ini.
            Arien semakin sesenggukan.
            “Arini. . “ kali ini ku panggil ia dengan nama kesayangannya,” kamu ingat kan dengan hadits Nabi yang mengatakan bahwa sesama muslim bagaikan sebatang tubuh. Aku ingin Rien, menjadi bagian dari batang tubuh itu. Bagian yang turut sakit bila ada bagian lainnya yang sakit. Rien…selama ini banyak hal yang telah kita lalui bersama. Suka, duka, canda dan tawa. Kita saling memberi dan menerima. Jika ada di antara kita senang, maka yang lain juga senang. Jika ada yang sedih, maka yang lain akan lebih sedih lagi. Kita adalah saudara, saudara seiman. Apa yang kamu rasakan, itu juga yang aku rasakan. Sekarang. . ., kamu cerita ya sama aku. Keluarkan apa yang membuat sesak dada kamu. Katakan semua yang ingin kamu katakan. Apapun masalah kamu sekarang, kita hadapi sama-sama,” dengan kedua tanganku kuhadapkan wajahnya ke arahku. Ku temukan redup cahaya di matanya. “Aku sahabatmu, aku saudaramu… katakan ada apa?”
            Ia menggelengkan kepala, kedua tanganku disentakkan dengan keras. Ia lalu berdiri.
            “Enggak Fa! Cukup! Jangan pedulikan aku! Urus dirimu sendiri!” Usai berkata seperti itu ia berlari meninggalkan aku. Gema bel masuk melarangku untuk menyusulnya. Ku hapus air mataku. “Arien, mungkin tidak hari ini kamu bisa cerita. Ya Allah, kuatkan hati sahabatku itu. Bantulah ia dalam menyelesaikan masalah apapun yang tengah ia hadapi sekarang, amiin…”
            Arien masuk ke kelas ketika pelajaran akan segera dimulai. Semenjak itu ia seperti bukan Arien yang aku kenal.
            Aku harus menyimpan dalam-dalam beribu pertanyaan yang timbul dalam benakku. Aku dibuat heran dengan tingkah Arien. Jika hari-hari sebelumnya wajah itu bersaput awan hitam, sekarang mentari telah bertengger lagi di wajah bulat itu. Ia telah mau menyapaku, meskipun dengan cara yang aneh, dengan tawa dan begitu riangnya. Belum lagi heranku hilang, ia yang kini sering bersama geng Strange Girls, geng paling populer di SMAN Pancasila, membuatku khawatir, sekaligus takut. Khawatir dengan pergaulannya dengan komunitas remaja yang sering bikin onar itu. Namun sapaannya padaku sedikit menghibur sekaligus mengubur lebih dalam berjuta tanya dalam hatiku. Dengan terpaksa aku harus menghempaskan nafas lega dengan kembalinya mentari di wajahnya. Meski sekarang ia tak lagi mewarnai hari-hariku dengan tingkah lucunya.
            Baru satu bulan aku jarang bersama Arien aku sudah kangen mendengar ocehanya, kangen tergelak dengan candanya, terhibur dengan renyah tawanya. Aku ingin Arien menjadi Arien yang dulu. Tapi melihat ia kembali bisa tertawa mungkin telah cukup bagiku.


            Hari itu, aku menahan diri untuk tidak segera ke rumah sakit setelah mendengar kabar ini. Sungguh, dua jam pelajaran rasanya seperti berabad-abad. Rasanya aku mendengar petir di siang bolong. Rita baru saja mengatakan Arien sedang kritis di rumah sakit. Ia over dosis.
           
Pagi ini rasanya sangat sunyi. Lalu lalang kendaraan yang begitu bising seperti dibungkam oleh angin, mungkin juga bising itu dibelokkannya ke arah lain hingga telingaku tidak mendengarnya. Kakiku yang melangkah perlahan kadang terantuk batu-batu yang lumayan besar yang terserak di jalan sempit itu. Tas plastik berisi bunga tabur ku genggam lebih erat ketika di depan telah ku lihat gundukan tanah merah yang masih basah. Langkahku terhenti beberapa depa dari gundukan itu. Ku baca tulisan di papan yang tertancap di atasnya. Aku harus benar-benar sadar, sadar bahwa seseorang yang ku sayangi berada di balik gundukan tanah itu. Dia sendiri di sana. Beristirahat di alam sana.
            Masih terbayang bagaimana wajah pucatnya di rumah sakit kemarin. Wajah yang meringis menahan sakit. Dadaku merasa sesak melihat penderitaannya. Kata dokter ia menelan lebih dari dua puluh butir ekstasi. Usaha untuk menolongnya telah dilakukan. Namun semuanya sia-sia. Aku tak pernah membayangkan hidup sahabatku akan berakhir dengan cara seperti ini. Di tengah kesakitannya saat itu, dengan isyarat matanya ia memanggilku. Aku mendekat. Masih terngiang kata-kata terakhir yang terbata diucapkannya.
            “Fa. . aku minta maaf..telah membuatmu khawatir… Terima kasih untuk persahabatan yang tulus darimu, untuk persaudaraan yang begitu indah,” air matanya berlinang. Aku tak bisa menahan tangis. “ Terima kasih untuk semuanya.. aku pasti akan selalu ingat sama kamu, Fa.. Tapi aku ingin kamu lupa kalau kamu pernah kenal sama aku”
            Aku menggelengkan kepala,”Nggak Rien.. nggak..”
            “Fa..,“ suaranya melemah, ”kalau aku pergi..ambillah diaryku, aku ingin kamu tau semuanya dari sana”
                        Dia semakin kesakitan, nafasnya tersengal-sengal,“kamu tau Fa..di mana.. mamaku?”
            “Sudahlah Rien.. kamu jangan terlalu banyak bicara dulu. Kamu harus istirahat, agar kamu cepat sembuh.”
            Tapi aku tahu, kata-kataku tadi sia-sia. Syahadatain yang ku ejakan berhasil diucapkannya. Dadanya tidak lagi turun naik. Ku lihat matanya, cahaya mata itu semakin redup, samar dan akhirnya hilang. Ia telah pergi.
            Desau angin yang menampar keras wajahku menyadarkanku dari lamunan. Ku hampiri gundukan tanah di depanku. Dengan isak yang tertahan aku berkata lirih, “Arien.. sekarang kamu telah bebas dari himpitan yang selalu menyesakkan dadamu. Kamu takkan lagi mendengarkan pertengkaran-pertengkaran itu. Kamu takkan sedih lagi karena perceraian orang tuamu, terpukul dengan penangkapan papamu karena korupsi yang dilakukannya.”
            “Arien.. kenapa kamu tidak memberitahukan aku tentang ini. Aku sahabatmu, aku selalu siap mendengarkanmu. Tapi sekarang aku tahu. Katamu, kamu tak ingin membebani    aku dengan masalahmu. Seandainya kamu cerita mungkin semunya takkan seperti ini… aahh…, aku harus ikhlas, ini semua takdir Allah.”
            Ku tarik nafasku dalam-dalam seraya menaburkan bunga dari plastik hitam.
            “Saudaraku.. aku mencintaimu karena Allah, kita bertemu atas kehendak Allah, dan berpisahpun atas kehendak-Nya. Terlalu banyak kenangan di antara kita. Aku akan selalu mengenangmu. Aku juga akan selalu mendoakanmu. Semoga sekarang kamu berada di sepotong taman surga dengan limpahan rahmat dan maghfirah-Nya. Semoga kita kembali dipertemukan Allah kelak di hari yang jauh dari kefanaan, yang takkan ada lagi perpisahan, amiin..”
            Berat rasanya meninggalkan Arien sendirian di sini. Namun gerimis menyuruhku untuk pulang. Aku berdiri, ku hapus air mataku.
            “Selamat tinggal sahabat..”
            Aku berbalik dan menyusuri jalan yang tadi ku lalui. Ku percepat langkahku sebelum tetes kecil air hujan membuat tubuhku lebih menggigil. Aku kembali menoleh ke belakang, “semoga kamu telah damai dalam pangkuan rahmat Allah”, doaku dalam hati.
            Di ufuk barat, matahari gigih menyembulkan dirinya dari balik awan hitam yang bergumul. Kulihat secercah cahaya keemasannya mengusir sedikit bayang hitam di sisi lengkung cakrawala senja. Sebentar lagi tunailah titah Tuhan dilaksanakannya, menyinari belahan bumi tempat ku berpijak untuk kemudian kembali terbit di belahan bumi lain. Begitu seterusnya hingga sampai pada waktu yang telah ditentukan.
            Kulanjutkan langkah ketika jubah hitam mulai membentang. Malam menjelang dengan tanpa kehadiran sang rembulan.


Amuntai, Selasa, 28 Desember 2010, 03.20 dini hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar